Site icon KEBAKTIAN

Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH)

Menjadi Anggota PGI: 25 Mei 1950
Berdiri: 06 September 1949
Telepon: (0924) 21166 | Fax: (0924) 21302
e-Mai :
website:

 

Profil Singkat

Embrio GMIH dimulai dari kegiatan pekabaran Injil yan dilakukan oleh H. Van Dijken_tenaga utusan Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) pada tahun 1867 di desa Duma, Galela. Seruan pertobatan selalu didengungkan kepada masyarakat Galela, karena ia menganggap perlu untuk mencabut kehidupan masyarakat Galela dari kekafiran. dengan agama berhala dibuang. Seperti perkawinan adat. Adapun usaha-usaha lain yang dilakukan dalam rangka mengembangkan dan memperluas pI di Halmahera adalah dalam bidang pertanian, pendidikan dan kesehatan. Nafas penginjilan di desa Duma Galela menjadi roh penginjilan Halmahera yang terus menjalar sampai di wilayah Barat, Timur dan Selatan. A. Hueting, Van Baarda, J.L.D. van der Roest, J.A.F. Schut dan J. Forgens turut memberikan kontribusi dalam ekspansi penginjilan di wilayah-wilayah lain.Jemaat-jemaat Zending yang sudah terbentuk tersebut kemudian mendapat pergumulan keras sebagai konsekuensi dari akibat gejolak Perang Dunia II. Akibatnya mereka harus mengurus diri sendiri ketika tenaga zending dipulangkan. Dalam suasana yang membingungkan tersebut, berbagai usaha-usaha mulai dipikirkan, terutama untuk memikirkan kemandirian sebuah Gereja di Halmahera. Upaya-upaya tersebut dimulai dari wilayah Barat Halmahera, tepatnya di wilayah Sahu dan Ibu. Kemudian berkembang ke wilayah Kao. S.B. Tolo adalah salah satu orang yang merintis kemandirian Gereja di Halmahera, di tengah-tengah cengkraman penjajahan Jepang kala itu. Upaya kemandirian tersebut juga dilakukan di belahan Utara Halmahera yang pelopori oleh Hopaja.Pada akhir PD II, para zendeling kembali ke Halmahera. Pada tahun 1946, kembalilah sejumlah tenaga zending, walaupun mereka sudah tidak lagi dengan panji UZV, karena mereka telah menggambungkan diri ke dalam badan zending VNZ. Ketika kembali mereka tidak menerima begitu saja pembentukan Gereja Protestan Halmahera (selanjutnya disingkat GPH). Mereka menerima nama GPH untuk sementara waktu, Di samping itu tetap mencari solusi terbaik bagi kemandirian. Dengan begitu menyebabkan berbagai konferensi dilaksanakan demi membahas masalah pendirian dan kemandirian Gereja. Selama periode ini, ada dua gagasan yang berkembang, yakni bergabung dengan GPM (Gereja Protestan Maluku) dengan pengaruh zending Belanda; atau mendirikan sebuah Gereja yang benar-benar mandiri di bumi Halmahera. Bagaimana pun juga, kembalinya zending ke Halmahera telah menemukan sebuah situasi yang benar-benar berbeda.Puncaknya ketika spirit kemandirian Gereja di Halmahera terus dibangun secara bersama-sama, baik oleh orang Halmahera dan juga para zendeling. Untuk merelisasikan semangat tersebut, zending mengambil tiga langkah konkret. Pertama, mereka berusaha menata kembali pekerjaan rutin gereja. Kedua, menahbiskan para guru jemaat/sekolah yang senior pada Agutsus 1946. Para guru jemaat tersebut adalah H.B. Hamijs, E. Polnaija, J.F. Noija, J. Djawa dan P.J. Joija. Ketiga, melakukan konferensi di Tobelo dari 11-18 Januari 1947 yang anggotanya terbatas, termasuk kelima guru jemaat yang ditahbiskan di atas.

Dalam rangka mempersiapkan penataan sumber daya Gereja, maka pada tahun 1947, enam guru jemaat/sekolah yang labih muda, yang mewakili ke enam suku di Halmahera di kirim ke SoE di Timor untuk belajar di Sekolah Theologia untuk Indonesia Timur. Dengan jalan ini orang-orang Halmahera menjamin bahwa kepemimpinan Gereja kelak akan dipegang oleh suku Halmahera sendiri dan tidak tergantung kepada orang-orang Ambon. Setelah itu, satu tahun kemudian diadakan Proto-Sinode kedua. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan sebuah badan persiapan Sinode Gereja. Antara Juni 1948-Juni 1949, badan tersebut harus menghasilkan rumusan Anggaran Dasar dan Tata Gereja dengan sembilan pasalnya, yaitu : 1) Gereja; 2) Jemaat; 3) Jabatan; 4) Pelayanan Al-Kalam dan Tanda-Tanda Ezrar (Sakramen); 5) Nikah; 6) Umat Kristen di dalam Persekutuan adat dan masyarakat Baru; 7) Keuangan; 8) Hubungan dengan Gereja lain ; 9) Permohonan peraturan Gereja.

Jadi, sidang sinode pertama dilakukan di Tobelo dari 4-14 Juni 1949. Pada tanggal 4-5 Juni, Anggaran Dasar dan Tata Gereja diteliti, diamendir dan ahirnya diterima. Pada tanggal 5 Juni terjadi perdebatan hebat mengenai nama Gereja. Dan ketika permasalahan nama selesai, maka pada tanggal 6 Juni upacara berlangsung dan bersamaan dengan itu GMIH secara resmi didirikan. Ketua sinode yang pertama adalah Pdt. A. Ploeger dari VNZ. Keenam anggota lainnya dari Badan Pengurus ini terdiri dari tiga orang Halmahera (J. Junga, sebagai Sekretaris; Pdt. J. Djawa dan R.B. Djago) serta tiga orang Ambon (Pdt. E. Polnaija, Wakil Ketua; S.B. Lesnussa, Bendahara; dan J. Noija).

Sejak berdiri, GMIH terus menjalankan misi penginjilan di Halmahera dengan sifat dan pergumulannya menghadapi situasi dan kondisi Halmahera yang sebagai locus pelayanannya.

Halmahera adalah wilayah pelayanan GMIH. Pulau dengan 32 sub suku tersebut merupakan locus  yang menjadi tempat GMIH lahir dan berkembang. Pulau Halmahera dan pulau sekitarnya tersebut kemudian dibagi dalam 54 wilayah pelayanan. Saat ini jemaat definifnya berjumlah 427 jemaat. Secara geografis, GMIH memiliki wilayah pelayanan yang mencakup pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya.

Exit mobile version