Roma 6: 23
Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 105; Lukas 17; Yosua 21-22
Bagaimana mungkin Tuhan yang baik dan pengasih membiarkan semua rasa sakit dan penderitaan ini terjadi?
Saya sendirian di kamar rumah sakit, memperhatikan bayi saya bernapas. Lalu menaruh tangan saya di bagian punggungnya, berharap bisa merasakan detak jantungnya. Napasnya sangat pelan dan kulitnya berwarna abu-abu kebiruan. Dia tak sadarkan diri. Pakaian saya basah dengan darah dan kotorannya, dan baunya begitu menyengat, menimbulkan rasa sakit di hati saya.
Saat para dokter bersiap untuk melakukan operasi darurat, mereka menempatkan dia di lengan saya dan saya menggendongnya di dekat dada saya. Dia kotor, tapi saya tidak peduli. Dia adalah anak saya. Tidak ada yang akan menghalangi saya untuk memeluknya erat, saat saya bernyanyi untuknya dalam penderitaan dan penantian.
Ketika para dokter mengambilnya dari tangan saya, kenyataan mengejutkan saya bahwa saya terciprat oleh darahnya yang tak berdosa. Beban yang begitu berat membuat saya semakin terpuruk. Saya memahami fakta penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib, menerima anugerah keselamatan-Nya yang cuma-cuma, dan menyerahkan hidup saya kepada ketuhanan-Nya bertahun-tahun sebelumnya.
Tapi hari ini, saya tidak bisa berkata apapun juga saat saya terciprat darah dari bayi saya yang tak berdosa. Ada makna spiritual yang tak bisa dipahami lewat peristiwa itu. Hal ini membuat saya merasa dibakar oleh kasih Bapa Surgawi, bahwa Dia akan membiarkan Putra tunggal-Nya yang terkasih menanggung penderitaan yang tak pantas seperti itu, menumpahkan darah-Nya yang tak berdosa untuk menutupi kekotoran dan rasa malu kita dan menarik kita mendekat kepada-Nya.
Anak saya selamat dari insiden yang hampir merenggut nyawanya. Tetapi, pengalaman itu menyadarkan saya pada kenyataan bahwa setiap kali terjadi tragedi, kita sering kali melupakan penderitaan yang Yesus sudah tanggung demi kita. Kita menjadi marah ketika hidup ini menyakitkan dan kita lupa bahwa penderitaan yang sedang kita tanggung tidak bisa dibandingkan dengan penderitaan-Nya di kayu salib. Kita lupa bahwa Tuhan dengan penuh kasih, rela menawarkan anak-Nya untuk menanggung hukuman atas dosa-dosa kita, menumpahkan darah-Nya yang tak berdosa dan mati menggantikan kita…dan Yesus dengan penuh kasih dan rela menerima tugas itu.
Kita sering lupa bahwa sebagian besar rasa sakit kita berasal dari konsekuensi dari pilihan kita yang berdosa dan memberontak, dan semua rasa sakit itu adalah akibat dari penolakan umat manusia terhadap Tuhan. Semuanya kembali ke Taman Eden, ketika Tuhan menawarkan kepada umat manusia kehidupan yang bebas dari rasa sakit dan penderitaan. Meskipun umat manusia tetap menginginkan kehidupan yang bebas dari Tuhan. Umat manusia memilih untuk memberontak melawan Tuhan dan akibatnya adalah rasa sakit dan penderitaan.
“Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 6: 23)
Tetapi Tuhan, melalui belas kasihan-Nya yang tak terbatas, berbelas kasihan kepada kita dan menyelamatkan kita dari hukuman.
“Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah. Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar–tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati–. Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.” (Roma 5: 6-9)
Di bawah bayang-bayang salib, sulit untuk mengutuki Tuhan karena membiarkan kita menderita. Kita datang dengan kondisi yang sangat kotor, namun Dia memeluk kita dengan penuh kasih dan menyanyikan lagu untuk kita di tengah penderitaan dan penantian kita. Dalam terang keselamatan kita, bahkan lebih sulit bagi kita untuk memahami betapa besarnya kasih Bapa bagi kita.
Hak cipta Kathy Thomas, diambil dari renungan CBN