Menjadi Anggota PGI: 25 Mei 1950
Berdiri: 17 Februari 1931
Telepon: (0298) 326.684, 326.351
Fax: (0298) 323.985
e-Mail: [email protected];
[email protected]
website: www.gkj.or.id
Profil Singkat
GKJ didirikan pada tanggal 17 Februari 1931 adalah sebuah ikatan kebersamaan Gereja-gereja Kristen Jawa yang seluruhnya berjumlah 307 Gereja yang terhimpun dalam 32 klasis dan tersebar di 6 provinsi di Pulau Jawa yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Diawali dari sembilan orang dari kalangan terbawah masyarakat Jawa dengan profesi buruh miskin tukang mbatik yang menjadi pembantu Ny. Van Oostrom Phillips di Banyumas, nekad berjalan kaki dalam rombongan kecil menerabas desa-desa dan pegunungan menuju ke Semarang (sejauh sekitar 300 Km) untuk sekedar mendapatkan tanda baptis dari Zendeling NZG W. Hoezoo pada 10 Oktober 1858karena pemberian tanda babtis di karesidenan Banyumas oleh zendeling tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial setempat. Mereka inilah cikal bakal pertama gereja GKJ; GKJ tumbuh pertama kali di kawasan Banyumas.
Setelah itu, dua lelaki dan tiga orang perempuan pekerja miskin batur (pembantu rumah tangga) Ny. Christina Petronella Phillips Stevens di Ambal, Purworejo yang menerima tanda baptis mereka di Gereja Indische Kerk Purworejo pada 27 Desember 1860. Itulah cikal-bakal dari yang disebut dan menamakan diri Gereja-gereja Kristen Jawa adalah golongan akar rumput lagi pula buta huruf, keluarga para pembantu rumah tangga dan buruh membatik, anggota masyarakat kelas bawah Boemipoetera zaman kolonial yang paling rendah status sosialnya.
Tumbuhnya kelompok Kristen awal ini segera disusul oleh tumbuhnya kelompok lain hasil pekabaran injil Nederlandche Gereformeerde Zendingvereniging (NGZV) yang mulai bekerja di Jawa Tengah sejak 1865 di Tegal (Muaratuwa) dan Purbalingga (plus Bobotsari dan Bojong), yang nantinya diambil-alih oleh Zending Gereformeerd Kerken (ZGK) sejak tahun 1896 dan dikembangkan dengan pusat-pusat penginjilan dari kota-kota Purwerejo–Temon, Kebumen, Yogyakarta, Surakarta, Banyumas-Purbalingga serta Magelang, Temanggung, semuanya di kawasan Jawa Tengah Selatan (Jawa Tengah Utara menjadi ladang pekabaran Injil Salatiga Zending).
Sejak ini muncullah puluhan pepanthan di sekeliling tiap-tiap pusat penginjilan di luar kelompok yang lama maupun kelompok “Wong Kristen Merdhiko”. Namun yang jelas, hampir semua warga gereja Jawa ini berlatar belakang petani miskin dan buta aksara. Hanya berkat jasa pelayanan sekolah dan rumah sakit yang diselenggarakan zending, secara lambat namun pasti generasi kedua warga Gereja Jawa bergeser, mereka mulai melek huruf, sebagai akibat pendidikan di sekolah maupun di rumah sakit zending sebagian generasi kedua ini beralih profesi menjadi guru dan perawat serta pegawai berbagai bidang pelayanan masyarakat termasuk di pemerintahan desa. Dari generasi kedua inilah kemudian lahir generasi ketiga warga geraja Jawa pra dan pasca kemerdekaan yang educated minded, yang dizaman kolonial didorong dan difasilitasi untuk belajar tidak hanya di “Volkschool” dan “Vervolgschool” namun juga di “Schakelschool”, HIS, MULO, bahkan “Kweekschool” dan HIK.
Jelasnya pertumbuhan gereja Jawa (di luar “Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko” yang masih belum bergabung dalam asuhan zending), apalagi sejak tahun 1900, sangat ditentukan oleh metoda dan realisasi Pekabaran Injl Zending ZGK yang tergelincir kepada kenyataan yang menyebabkan gereja Jawa tumbuh dalam ketergantungan yang akut pada para Pendeta Missi dan zendingnya.
Pendewasaan pepanthan Gereja-gereja Jawa pertama kali terjadi atas gereja Purworejo (4 Februari 1900) tak lama kemudian disusul pepanthan Temon. Namun pendewasaan ini ternyata lebih bersifat pamer kebisaan kepada Golongane Wong Kristen “Jowo” kang Merdhiko pimpinan Kyai Sadrach untuk membuktikan bahwa zending tidak bermaksud lain kecuali mendirikan gereja-gereja Jawa dengan pendeta-pendeta Jawa. Tanpa topangan zending, pendewasaan kedua gereja ini hanyalah ketergesaan semata. Mungkin baru pada pendewasaan kelompok Glonggong – Kebumen (3 November 1911) dan kelompok Gondokusuman Yogyakarta (23 November 1913).
Setelah berjalan 26 tahun hanya Gereja Gondokusuman yang pertama kali siap memanggil pendeta atas diri Ds. Ponidi Sopater pada tahun 1926 dari antara 17 gereja Jawa yang sudah didewasakan oleh zending yaitu Purworejo, Temon, Glonggong, Gondokusuman, Solo, Klaten, Tungkak, Patalan, Candisewu, Magelang, Kesingi, Palihan, Kebumen, Grujugan, Purbalingga, Grendeng dan Adireja.
Gereja-gereja ini menggeliat dibawah pimpinan Guru-guru Injil didikan “Opleiding School van de Helper bij de Dienst Woords” (Sekolah bagi Pembantu-pembantu Pada pelayanan Firman Tuhan/Sekolah Guru Injil) Yogyakarta dibantu serta oleh guru-guru sekolah zending dan mantri jururawat rumah sakit dan poliklinik zending. Merekalah para penumbuh dan pemimpin gereja Jawa sesungguhnya, namun di bidang dana dan ajaran ketergantungan gereja-gereja ini pada zending ZGK tidak bisa dipungkiri.
Pada tanggal 17-18 Februari 1931 gereja-gereja Jawa yang saat itu menamakan diri “Pesamoewan Kristen “Gereformeerd” ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoel”, yang masing-masing mengelompok dalam 5 klasis bersinode pertama di Kebumen, ini menjadi tonggak pertama persidangan sinode Gereja-gereja Jawa Tengah Selatan untuk disusul dengan sinode-sinode berikutnya, walaupun peran serta para Pendeta Missioner ZGK masih cukup besar untuk menuntun para pemimpin gereja Jawa berjalan menapaki kedewasaannya yang masih rapuh ini.
Kedewasaan Gereja-Gereja Kristen Djawa Tengah Selatan (sebutan yang akhirnya sering dipakai) menemukan kesempatan ketika gereja-gereja Jawa harus berjuang menegakkan kehidupannya sendiri saat para Pendeta Missi ditawan oleh pemerintah pendudukan Jepang sejak 1943 dan hubungan dengan gereja Eropa terputus. Saat ini era kemandirian gereja terlihat akan betul-betul mulai dapat dijalani. Namun ternyata gereja Jawa masih harus bersabar. Walaupun Gereja-gereja Kristen Jawa Tengah Selatan berhasil menggandeng saudara-saudaranya seperti Gereja Kristen Jawi Wetan, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara – Parepatan Agung, Gereja Kristen Jawa – Sekitar Muria, Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee Jawa Tengah serta Gereja Kristen Pasundan Jawa Barat dalam lembaga Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja Protestant di Indonesia (DPG di Indonesia) yang dibentuk tahun 1946 di Yogyakarta; dan lewat organisasi ini mereka mencanangkan euforia kemerdekaan dengan tidak mau lagi menerima bekas zending-zendingnya, namun keinginan ini harus mengalami sedikit perubahan. Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN) dan Nederlandsch Hervormde Kerk (NHK) yang mewakili gereja pengutus masih menghendaki paling tidak adanya kerjasama dalam pekabaran Injil di Indonesia.
Basoeki Probowinoto selaku utusan Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah Selatan yang menjadi motor DPG ketika hadir sebagai utusan Gereja Jawa dalam Sinode GKN di Eindhoven tahun 1948 harus bersedia melangkah surut karena dia diingatkan oleh seniornya (S.U.Zuidema) bahwa jika gereja-gereja Gereformeerd Belanda tidak lagi diberi peran dalam pekabaran Injil sama saja dengan mematikan mereka karena dalam pengertian mereka tidak ada gereja tanpa pekabaran Injil, yang berarti mereka berhenti sebagai gereja missioner. Terpaksa Gereja Jawa harus menerima konsep bekerjasama dengan bekas zendingnya lewat Regionaal Acccord dan Algemene Accord yang ditandatangi di Belanda tahun 1948.
Kerjasama ini berlangsung mulai tahun 1950-an saat Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah Selatan disatukan dengan Geredja Kristen Djawa Tengah Utara dalam Sinode Persatuan di Salatiga 5 – 6 Juli 1949, dan sejak itu bernama Geredja-geredja Kristen Djawa Tengah (GKDT). Akibatnya sampai tahun 1970 kedewasaan gereja Jawa kembali terbelenggu dan dikerdilkan dibawah supremasi kucuran dana dan tenaga dari partner gereja Eropa. Basoeki Probowinoto sadar akan bahaya ini dan untuk itu pada tahun 1955 dia mengusulkan terobosan baru yang terkenal sebagai Nota Probowinoto, namun kenyamanan yang terlanjur dibentuk lewat kucuran dana yang berlimpah itu sulit untuk diubah. Baru sesudah secara tiba-tiba gereja partner ini menyatakan tidak lagi melanjutkan bekerjasama dalam Pekabaran Injil, justru inilah saat gereja Jawa (sejak tahun 1956 berubah nama menjadi Geredja-geredja Kristen Djawa/GKD) mendapat kesempatan menjalani kedewasaannya yang sesungguhnya dan harus dewasa dalam segalanya.
Sesudah memproses gereja-gereja Jawa yang tumbuh dan dikembangkan di antara para para transmigran di Sumatra (sejak 1936) menjadi Sinode tersendiri dengan nama Gereja-gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan – GKSBS, Gereja-gereja Kristen Jawa yang tersebar di enam propinsi di pulau Jawa (Banten, DKI-Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur) kini berkembang pesat, pada tahun 2011 menjadi 307 gereja, berhimpun dalam 32 Klasis, dengan jumlah warga sekitar +218.998 orang, dari segala lapisan masyarakat, baik dari kalangan lapisan rendah seperti petani kecil, buruh pabrik, pedagang candak- kulak, lapisan menengah seperti pegawai, pengusaha maupun wiraswasta sampai dengan lapisan tinggi pengusaha sukses dan pejabat tinggi negara, tersebar di berbagai tempat, di kota dan di desa, dengan dilayani 307 pendeta jemaat dan 16 pendeta pelayanan khusus. GKJ yang berdenominasi Reformed dan melayani di Pulau Jawa.
Komentar