Menjadi Anggota PGI: 25 Mei 1950
Berdiri: 25 Oktober 1947
Telepon: (0423) 21460, 21539, 21612, 21742 | Fax: (0423) 25143
e-Mail: [email protected]
website:
Profil Singkat
Cikal bakal Gereja Toraja berawal dari benih injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia), yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa. Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan yang pertama pada tanggal 16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Lanschap di Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan injil kemudian di lanjutkan secara intensif oleh Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang datang ke Tana Toraja sejak 10 Nopember 1913.GZB adalah sebuah badan zending yang didirikan oleh anggota-anggota Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang m,enganut paham gereformeerd. GZB berlatarbelakang pietis, dalam arti sangat mementingkan kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat ini.Pada tahun 1947 terjadilah babak baru dalam sejarah penginjilan di kalangan masyarakat Toraja. tepatnya pada tanggal 25 – 28 Maret 1947 diadakanlah persidangan Sinode I di Rantepao yang dihadiri oleh 35 utusan dari 18 Klasis.Sidang Sinode I ini memutuskan bahwa orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja. Dalam rangka membina persekutuan, kesaksian dan pelayanannya sejak berdiri sendiri Gereja Toraja telah mengalami banyak pergumulan, baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun yang berasal dari luar (farktor eksternal).
Pergumulan internal yang cukup menonjol segera mencuat ke permukaan yaitu kurangnya tenaga pelayan (SDM) yang memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mampu melayani dan membina warga gereja yang mulai bertumbuh serta mulai menyebar ke luar wilayah Tana Toraja. Masalah lain yang cukup menantang ialah bagaimana sikap Gereja Toraja yang benar, baik dan tepat terhadap adat-istiadat dan kebudayaan Toraja.
Dalam arak-arakan gerakan oikoumene GT juga menjadi gereja pelopor karena termasuk anggota PGI pertama yaitu pada 25 Mei 1950. Gereja Toraja lahir dan tumbuh dari hasil kegiatan pekabaran injil misionaris Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd (Gereformeerde Zendingsbond-Belanda (GZB)). GZB didirikan oleh satu aliran dalam tubuh Gereja Hervormd Belanda (NHK). GZB mengutus penginjil dan guru-guru sekolah di kalangan Suku Toraja. Pdt. A.A. van de Loosdrecht menjadi misionaris pertama yang tiba di Rantepao, Sulawesi Selatan, pada 7 November 1913. Namun, tragis karena ia terbunuh di tempat itu. Atas kerja keras dan pengorbanan mereka, terbentuklah jemaat-jemaat di berbagai tempat yang kemudian mendirikan Gereja Toraja yang berdiri sendiri.
Injil berkembang pesat hingga tahun 1938 telah terdapat 14.000 orang Kristen dari 300.000 penduduk. Pada 25 Maret 1947, jemaat-jemaat sepakat membentuk suatu organisasi gereja yang bernama Gereja Toraja dalam sidang Majelis Am yang pertama di Rantepao. Gereja ini menjadi anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 1950.
Gereja ini berbentuk Presbiterial Sinodal yang berarti pengaturan tata hidup dan pelayana gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteri (penatua, pendeta, dan diaken) dalam suatu jemaat dengan keterikatan dan ketaataan dalam lingkup yang lebih luas (klasis dan sinode).
Pada masa pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, banyak anggota jemaat Gereja Toraja yang terbunuh.[2] Tahun 2000, anggota jemaatnya sebanyak 375.000 orang.
Saat ini, kantor Pusat Gereja Toraja terletak di Rantepao, Sulawesi Selatan. Gereja Toraja kemudian tersebar di luar Toraja, seperti Makassar, Surabaya, Jakarta, dan kota lainnya. Pada 2012-2013 Gereja Toraja menyelenggarakan acara mensyukuri 100 tahun Injil Masuk Toraja 1913-2013.
Komentar